Monday, March 16, 2015

Sekilas Tentang Difabel Rungu/Tunarungu Bagian I

Sebenarnya jujur saja sih aku kurang menyukai istilah tunarungu atau tuli tetapi karena istilah ini sudah umum dan mendarah daging dari dulu dalam masyarakat maka tak ada yang bisa dibantah namun sebisa mungkin aku ingin istilah ini disingkirkan saja selamanya. Alasannya konotasi istilah ini terdengar kurang nyaman dan berkesan negative. Seolah sama golongan dengan istilah berawalan tuna-tuna lain misalnya tunasusila, nah yaa mana mungkin kita ini bergangguan pendengaran ini melakukan susila yang salah atau berperilaku buruk /menyimpang???
Sedih sekali kalau masyarakat sudah terlanjur menjuluki seperti itu tanpa memahami dunia kami, difabel rungu atau yang anda kenal : Tunarungu. Oleh karena itu marilah kita mengenal sedikit mengenai apa itu tunarungu, difabel rungu dan solusi cara bersosialisasi dengan kami, kaum minoritas disabilitas khusus difabel rungu.


Menurut Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa jumlah Penyandang Tunarungu sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Tahun 2004 adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari Tunanetra 1.749.981 jiwa (29%), Tunadaksa 1.652.741 jiwa (27%), Eks Penderita Penyakit Kronis 1.282.881 jiwa (21%), Tunagrahita 777.761 jiwa (12,8%), TUNARUNGU/WICARA 602.784 jiwa (9,9%). Sedangkan, WHO menyebutkan bahwa difabel di suatu Negara sekitar 10% dari jumlah total penduduk seluruhnya. Namun hingga kini pertumbuhan penyandang difabel rungu masih terus bertambah sejak sensus tahun 2004 itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI), Tunarungu adalah istilah lain dari tuli yaitu tidak dapat mendengar karena rusak pendengaran. Secara etimologi, tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Jadi, orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Menurut Hallahan dan Kauffman (1991), tunarungu merupakan istilah bagi orang yang kurang dapat atau kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat.


Pengertian tunarungu sendiri sangat beragam yang mengacu pada kondisi pendengaran orang tunarungu. Tunarungu juga merupakan suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu dengar (ABD) yang dapat membantu keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

Dikutip dari www.dit.pilb.or bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan pendengaran yang bervariasi mulai dari :

1.        Tingkat Sangat Ringan berdesibel 27db-40db
2.       Tingkat Ringan berdesibel 41db-55db
3.       Tingkat Sedang bersedibel 56db-70db
4.       Tingkat Berat berdesibel 71db-90db
5.       Tingkat Sangat Berat (tuli) bersedibel lebih dari 90db

Dikutip dari Program Khusus Tunarungu oleh Kemendiknas (2010) bahwa menurut Boothroyd, tunarungu dapat diklarifikasikan berdasarkan empat kelompok, yaitu :
1.        Berdasar tingkat kehilangan mendengar percakapan/bicara orang.
Ini Meliputi :
1)       Kehilangan 15db – 30db, Mild Hearing Losses atau Ketunarunguan Ringan
Artinya daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal atau kemampuan mendengar untuk bicara dan membedakan suara-suara atau sumber bunyi dalam taraf normal. Modalitas belajar menggunakan auditori dan alat bantu dengar.
2)     Kehilangan 31db-60db, Moderate Hearing Losses atau Ketunarunguan Sedang
Artinya daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagian atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hamper normal. Modalitas belajar menggunakan auditori dengan bantuan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar kemampuan mendengar untuk bicaranya menjadi normal.
3)     Kehilangan 61db-90db, Severe Hearing Losses atau Ketunarunguan Berat
Daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada atau kemampuan mendengar dan kapasitas membedakan suara tidak ada. Modalitas belajar menggunakan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar dapat menjadi normal dan kapasitas membedakan suara dapat menjadi baik.
4)  Kehilangan 91db – 120 db, Profound Hearing Losses atau Ketunarunguan Sangat Berat
Daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali atau kemampuan bicara dan kapasitas membedakan sumber bunyi sudah tidak ada. Modalitas belajar dengan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya normal, sedangkan kapasitas membedakan suara buruk. Pada derajat ini masih mampu mengenal irama dan intonasi sehingga modalitas belajar dapat menggunakan auditori dengan bantuan penglihatan.
5)     Kehilangan lebih dari 120db, Total Hearing Losses atau Ketunarunguan Total
Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali (tidak mampu mendengar) atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun dengan bantuan alat bantu dengar. Modalitas belajar hanya mengandalkan pada alat bantu dengar.

2.       Berdasarkan tempat terjadinya kehilangan pendengaran, yaitu :
1)  Kerusakan pada bagian tengah dan luar telinga sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut telinga konduktif
2)    Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris

3.       Berdasarkan saat terjadinya kehilangan pendengaran, yaitu :
1)      Tunarungu bawaan artinya ketika lahir, anak sudah mengalami atau menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.
2) Tunarungu setelah lahir artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir yang diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

4.       Berdasarkan taraf penguasaan bahasa, yaitu :
1)  Tuli prabahasa (Prelingually Deaf), adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1-6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
2)  Tuli purnabahasa (Post Lingually Deaf), adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan.

Disabilitas pendengaran, terutama yang dialami sejak lahir, sering kali menyebabkan gangguan pada bicara atau diistilahkan dengan tunawicara. Tunawicara adalah kesulitan berbicara yang disebabkan tidak berfungsinya dengan baik organ-organ bicara, seperti langit-langit dan pita suara. Tunawicara dapat dikategorikan sebagai berikut :
a)     Tingkat Ringan – 20-30db; Masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung sehingga pemahaman mereka menjadi sedikitterhambat.
b) Tingkat Sedang – 40-60db ; Mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal.
c)    Tingkat Berat – dia atas 60db; Sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah mengunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

Jika dilihat secara fisik, sebenarnya orang tunarungu tidak berbeda dengan orang normal pada umumnya. Orang akan mengetahui bahwa ia penyandang tunarungu pada saat berkomunikasi., khususnya jika dituntut untuk berbicara. Karena kadang mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya atau bahkan tidak berbicara sama sekali atau hanya berisyarat saja.
Dari ketidakmampuan tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang bahwa tunarungu adalah yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati dibandingkan dengan ketunaan lainnya seperti tunanetra atau tunadaksa. Padahal, ketunarunguan meruapakan gangguan atau ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.
Batasan mengenai ketunarunguan juga dikemukakan oleh Howard & Orlansky bahwa tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi di mana suara-suara yang dapat dipahami termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti untuk maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk mengartikan pembicaraan walaupun sebagian suara dapat diterima, baik tanpa maupun menggunakan alat bantu dengar.
Selanjutnya, kurang dengar (Hard of Hearing) adalah seseorang yang kehilangan pendengaran secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus. Baik tuli maupun kurang dengar dikatakan sebagai gangguan pendengaran (Hearing Impaired).
Seperti diuraikan di atas, bahwa ketunarunguan di antaranya berdampak pada masalah kognisi anak dan bahasa. Secara rinci, masalah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.        Masalah kognisi penyandang tunarungu :
a) Kemampuan verbal (verbal IQ), orang tunarungu lebih rendah daripada kemampuan verbal orang dengar
b)    Performance IQ penyandang tunarungu sama dengan orang mendengar
c)  Daya ingat jangka pendek tunarungu lebih rendah daripada orang dengar ter-utama pada informasi yang bersifat suksesif atau berurutan
d)     Informasi serempak, tunarungu tidak berbeda dengan orang dengar
e)  Daya ingat jangka panjang tunarungu tidak berbeda dengan yang mendengar walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah
2.       Masalah bahasa penyandang tunarungu :
1)       Miskin dalam kosakata
2)     Terganggu bicaranya
3)    Dalam berbahasa dipengaruhi oleh emosi atau visual order (apa yang dirasakan dan apa yang dilihat)
4)     Tunarungu cenderung permata
5)     Bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret

Sumber : Buku Seluk-beluk Tunarungu dan Tunawicara serta Strategi Pembe-lajarannya, Ahmad Wasita, Javalitera


Ingin memiliki buku tersebut silahkan LIKED page Mutiara Edukasi ini.

No comments:

Post a Comment